SEJARAH GERAKAN
PEREMPUAN INDONESIA
SEBELUM
KEMERDEKAAN
Politik Etis Adalah Pedang
Bermata Dua
Pada awalnya ia
dimaksudkan untuk meninggikan daya beli rakyat Hindia Belanda, serta
menghasilkan buruh-buruh murah dan birokrat rendahan yang cukup terdidik dari
rakyat tanah jajahan. Ternyata, pembukaan sekolah-sekolah belanda untuk elite
pribumi dan para ningrat kelas dua seperti Soekarno, menghasilkan sekumpulan
orang-orang muda berpendidikan barat yang nantinya akan menjadi tulang punggung
gerakan pembebasan nasional.
Perkebunan dan
sawah-sawah lalu disirami dengan air dari bendungan irigasi yang dibangun oleh
penjajah belanda. Para pemuda kitapun
berbondong-bondong memasuki sekolah rakyat, HIS, MULO dan HBS, hingga sekolah
dokter (STOVIA), dan sekolah guru (kweekschool). Pencerahan datang. Buku-buku
berbahasa belanda dan Inggris membuka mata dan hati tenntang perjuangan
pembebasan nasional diseluruh negeri dibumi ini. Pencerahan menggugat orang-orang
muda untuk berkumpul, bicara, berdiskusi dan menentukan. Lahirlah organisasi.
Berdiri Budi Utomo, 1908.
Namun, jauh
sebelum sejumlah priyayi terdidik jawa mengumumkan Budi Utomo, perjuangan
melawan belanda telah dimulai dimana-mana. Bukan untuk pembebasan Indonesia,
karena ia belum lahir sebagai sebuah realitas, tetapi untuk membebaskan tanah
leluhur, gunung-gunung, bukit, sungai, pulau dan rakyatnya. Diakhir abad ke-19,
perempuan-perempuan muda terlibat dalam perjuangan bersenjata melawan penjajah.
Sebatas membantu suami pada awalnya, tetapi kemudian sungguh-sungguh menjadi
pemimpin pasukannya. Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia, Chistina
Martha Tiahahu bersama Kapitan Pattimura, Emmy Saelan mendampingi
Monginsidi, serta Roro Gusik bersama Surapati. Lalu ada Wolanda
Maramis dan Nyi Ageng Serang. Gagasan kesetaraan gender belum ada,
dan sama sekali belum menjadi kesadaran. Namun yang menarik adalah kebanyakan
dari para perempuan ini adalah juga kaum bangsawan, para ningrat dengan status
sosial lebih tinggi dibandingkan para “kawula” yang bertelanjang dada itu dan
coklat hitam itu. Ini bisa dipahami, karena beberapa memilih angkat senjata
sebab tanah-tanah keluarganya diserobot oleh kompeni. Terusik, karena
pemilikannya terganggu. Tak perlu masuk sekolah belanda untuk membangun gerakan
nasional, para perempuan ini angkat senjata dengan gigih, dan membayar nyawanya
ditiang gantungan seperti Tiahahu.
Kartini
Lalu, beberapa
belas tahun sebelum Budi Utomo hadir, Kartini yang manis itu telah menulis
surat-suratnya. Menyala-nyala dengan cita-cita dan keingina untuk belajar dan
bebas, kartini harus menerima kenyataan hanya disekolahkan hingga usia 12
tahun. Bahasa belanda telah dikuasai, maka energi, gairah, kekecewaan dan
angan-angannya disalurkan lewat surat-suratnya—yang mengejutkan—begitu indah
dan puitis. Berbagai literatur yang memuat tulisan tentang Kartini menyatakan
bahwa, gagasan-gagasan utama Kartini adalah meningkatkan pendidikan bagi kaum
perempuan, baik dari kalangan miskin maupun atas, serta reformasi sistem
perkawinan, dalam hal ini menolak poligami yang dianggap merendahkan perempuan.
Namun dalam Panggil Aku Kartini Saja yang ditulis oleh Pramoedya tergambar
bahwa gagasan dan cita-cita Kartini lebih dalam. Lebih tinggi dan lebih luas
daripada sekedar mencerdaskan kaum perempuan dan memperjuangkan monogami
(meskipun hal ini sentral dari praktek perjuangan). Kartini, bagi Pram adalah
feminis yang anti kolonialis dan anti feodalisme. Hingga ketulang sum-sumnya.
Surat-suratnya
kepada Stella Zeehandelaar, seorang feminis sosialis dari belanda,
banyak yang telah dihancurkan. Justru percakapan tertulis dengan Stella-lah
yang banyak membuka mata dan hati kartini terhadap masalah perempuan dan
pembebasannya. Juga memahat secara perlahan-lahan penolakan akan dominasi
golongan feodal terhadap rakyat kecil. Surat
kartini yang secara khusus membahas buku AugusteBebel de Vrouw en
Sosialisme dihapus oleh Abendanon karena kepentingan kolonialnya.
Kartini banyak menerima buku-buku progresif semacam ini dari sahabatnya H.H van
kol, seorang sosialis demokrat anggota Tweede Kamer. Mungkin dari
surat-surat itu, gambaran yang lebih utuh tentang pikiran-pikiran politik putri
jepara yang tak ingin dipanggil dengan gelarnya itu, bisa lebih utuh. Pram
mampu memberikan perimbangan kepada distorsi yang telah merajalela selama ini
terhadap sosok kartini—mulai dari mitosisasi Kartini, hingga reduksi terhadap
gagasan-gagasannya.
Satu hal yang
juga perlu dicatat adalah saat Kartini menulis suratnya, sentimen nasionalisme
yang terorganisir belim muncul. Organisasi pertama kaum buruh SS Bond,
baru hadir tahun 1905, setahun setelah kematian Kartini. Tradisi menggunakan media
surat kabar dan
terbitan untuk menyebarluaskan propaganda, belum timbul. Karya jurnalisme awal
dari sang pemula (Tirto Adhi Suryo), Medan Prijaji, baru terbit
tahun 1906. referensi dari gagasan-gagasan orisinil Kartini berasal dari
berbagai literatur berbahasa belanda yang dibaca kartini dalam masa
pingitannya, serta korespondensinya dengan khususnya Stella.. adalah satu hal
luar biasa bahwa kartini yang sendirian, terisolasi dan merasa sunyi itu mampu
membangun satu gagasan politik yang progresif untuk zamannya, baik menyangkut
kaum perempuan maupun para kawula miskin tanah jajahan. Gagasan-gagasan ini
lalu diikuti oleh beberapa tokoh perempuan lainnya, seperti dewi sartika dan
Rohina Kudus. Namun, Kartini tetaplah Sang Pemula, yang mengawali seluruh
tradisi intlektual Gerakan Perempuan Indonesia, berikut gagasan paling awal
dalam melihat ketertindasan rakyat dibawah feodalisme dan kapitalisme. Nasib
tragis Kartini menjadi salah satu petunjuk bahwa tak ada jalan baginya untuk
membangun perjuangan dengan cara lain yang lebih kuat dan efektif. Zaman
berorganisasi belum terbit.
Pembebasan Nasional
Alangkah
besarnya sumbangan yang diberikan oleh Gerakan Pembebasan Nasional kepada
perkembangan gerakan perempuan. Disatu sisi, berbagai oarganisasi nasional
maupun partai politik saat itu berupaya membangun sayap perempuannya sendiri,
ataupun mendukung dan didukung oleh perjuangan perempuan disatu sektor atau
kelas tertentu. Disisi lain, perkembangan gerakan berbasis agama seperti
muhammadiyah, turut pula membentuk polarisasi dalam gerakan perempuan. Berbagai
jurnalisme pun bertebaran, bukan hanya dalam belanda, tetapi terutama dalam
bahasa melayu. Gairah nasionalisme tengah mencari jalan memodernisasi dirinya.
Saat Sarekat
Dagang Islam mengubah namanya menjadi Sarekat Islam, bulan september 1912, maka
watak organisasi pun berubah. Dari yang semula didominasi oleh kaum borjuis
kecil pedagang batik kelontong Solo dan sekitarnya yang mengorganisir diri
untuk menghadapi pedagang Cina, kini keanggotaanya menjadi lebih massif, lebih
terbuka, dan konsekuensinya, lebih politis. Alasan-alasan komersial yang
melandasi pendiriannya dulu telah memudar, karena muncul kebutuhan rakyat
jajahan, khususnya di pedesaan, akan wadah untuk melakukan perlawanan. Meski
arus perlawanan ini coba terus ditahan-tahan oleh para pemimpin SI yang
kebanyakan berhaluan Islam modernis, agak mistik meski berpaham liberal.
Hingga Sneevliet
mendarat tahun 1913, belum ada gerakan kiri di Indonesia seperti sebuah titik
ditengah jutaan mil samudera, dimana puluhan negeri- negeri lainpun tengah
memperjuangkan harga diri dan kemerdekaan. Cikal bakal Partai Komunis Indonesia,
ISDV (Perempuan Sosial Demokrat Hindia Belanda) didirikan di tahun 1914.
Semaoen yang masih sangat muda pada waktu itu, merupakan salah satu
kadernya yang bersemangat dalam mengorganisir SI semarang, meski tak cukup punya uang untuk
masuk sekolah Belanda. Desakan-desakan dan pengaruh kelompok kiri ditubuh SI
terus membesar, dan para pimpinan moderatnya mulai kehilangan kontrol atas SI.
Tahun 1921, banyak cabang SI yang membelot ke SI merah pimpinan Semaoen. SI
Merah lalu menjadi SI Rakyat.
Salah satu
persoalan yang membuat pertikaian tajam dalam tubuh SI adalah desakan kelompok
kiri untuk mengorganisir dan membela kaum buruh dan tani. Jajaran pimpinan SI
menolak memberi dukungan bagi militansi perlawanan kaum buruh dan tani, yang
sebagiannya adalah perempuan. Namun, aksi-aksi buruh, khususnya buruh trasportasi
dan perkebunan, serta aksi kaum tani terus bergolak. Sarekat rakyatpun
mengorganisir berbagai demontrasi politik buruh perempuan menuntut kenaikan
upah, penghapusan buruh anak, perpanjangan kontrak maksimum, uang pensiun dan
perlindungan kerja. Salah satu aksi buruh perempuan pada tahun 1926 yang
diorganisir SR di semarang adalah aksi “caping kropak”, dimana para
buruh perkebunan perempuan berunjukrasa menuntut kesejahteraan dengan menggunakan
topi bambu.
Gerakan
perempuan kelas bawah yang diorganisir SI merah (kemudian SR) berada dalam
posisi yang bertentangan dengan Aisyah, sayap perempuan muhammadiyah.
Muhammadiyah dan aisyah yang kebanyakan anggotanya adalah tani kaya, istri tuan
tanah dan borjuis kecil jogya dan solo itu berada dalam kepentingan yang
berseberangan dengan SR, yang kebanyakan anggotanya adalah buruh perempuan
miskin dan tani papa. Ini merupakan awal dari pertentangan laten yang tak
terdamaikan antara gerakan perempuan sayap kiri dengan kaum perempuan islam
dimasa mendatang. Perbedaan tajamnya bukan hanya berdasarkan pada kepentingan
kelas yang direpresentasikan oleh masing-masing kelompok, namun juga untuk isu-isu
seperti poligami dan keterlibatan aktif perempuan sebagai pimpinan politik.
Pemberontakan
1926 membawa banyak korban dari para aktivis perempuan. Kali ini bukan karena
sekedar membantu suami, namun disebabkan kegiatan mereka sendiri. Sukaesih
dan Munasiah dari jawa barat, bersama dengan kawan-kawan mereka yang
lain, dikirim ke kamp konsentrasi belanda di digul atas. Kebanyakan aktivis
perempuan ini adalah anggota dari Sarekat Rakyat ataupun PKI yang berdiri tahun
1922. penjajah belanda yang sudah lama menanti- nanti saat yang tapat untuk
menghancurkan kaum radikal, melakukan pembersihan terhadap tokoh-tokoh SR dan
PKI saat itu, termasuk para perempuannya. Tokoh-tokoh ini tidaklah populer
seperti kartini. Publikasi kartini diperkenankan dan difasilitasi oleh
pemerintah belanda karena saat itu mereka membutuhkan bukti untuk menunjukkan
sukses pelaksanaan politik etisnya di tanah jajahan, dengan mengusung pameran
intlektualitas dan kehalusan tulisan si Putri Jepara. Meski demikian,
perjuangan dkk., sangat konkrit dan revolusioner, karena bukan hanya berbicara
tentang pembebasan kaum perempuan, tetapi juga perjuangan untuk sosialisme,
dengan kemerdekaan sebagai jembatannya. Munasiah, misalnya dalam sebuah kongres
perempuan di semarang
menyatakan bahwa: “ Wanita itu mataharinya rumah tangga, itu dulu! Tapi
sekarang perempuan jadi alatnya kapitalis. Padahal sejak zaman mojopahit, wanita
sudah berjuang. Sekarang adanya pelacur, itu bukan salahnya wanita. Tapi
salahnya kapitalisme dan imperialisme!”
Terlepas dari
perbedaan latar belakang ideologi yang dianutnya, beberapa hal penting patut
jadi kesimpulan. Gagasan-gagasan feminis, berikut praktek hingga pembentukan
organisasi-organisasi perempuan selama masa periode pertama gerakan perempuan Indonesia
ini, ternyata pada umumnya muncul sebagai inisiatif dari kalangan perempuan
menengah keatas. Mulai dari Kartini, Dewi Sartika, Putri Mardhika (yang
dekat dengan budi utomo), hingga aisyah. Hanya sayap perempuan dari Sarekat
Rakyat-lah yang sungguh-sungguh mengabdikan dirinya dalam pengorganisasian dan
membangun radikalisasi perempuan miskin. Persoalan-persoalan yang diangkatpun,
oleh karenanya lebih banyak menyangkut hal yang menguntungkan ataupun dapat
diakses oleh perempuan menengah keatas, seperti permaduan, perdagangan anak dan
kesetaraan pendidikan. Perempuan buruh dan tani telah jauh sebelumnya terlibat
dalam carut marut proses produksi keji kaum kolonial semacam tanam paksa,
mengalami ketertindasan dan terhina dirinya sebagai kelas proletar. Ini mirip
dengan gerakan perempuan amerika dan eropa di abad ke-18, yang memfokuskan
tuntutannya pada hak untuk memilih dan dipilih (universal suffrage).
Meski demikian, seminimal apapun pengaruhnya baik mayoritas kaum perempuan
dikelas bawah, gerakan perempuan menengah ini telah mampu membuka jalan dan
peluang bagi perjuangan kaum perempuan selanjutnya.
Periode Kedua Gerakan
Perempuan
Saskia wireringa,
seorang feminis indonesia
yang berdiam di belanda, menyebutnya sebagai periode kedua. Tidak dijelaskan
apa yang melandasi timbulnya pembagian waktu demikian. Namun kelihatannya,
pasca kehancuran PKI dan gerakan kiri 1926, ada upaya untuk mengorganisasi
gerakan secara berbeda dari sebelumnya. Harus juga dilihat bahwa situasi
gerakan pembebasan nasional saat itu, secara fisik dan terutama intlektual,
mulai tumbuh dewasa. Perbedaan-perbedaan ideologis terumuskan dan terbaca jelas
mulai strategi dan taktik yang dimunculkan, baik oleh PKI, PNI, PI, dan
berbagai wadah lainnya. Tokoh-tokoh yang menjadi magnet dari gerakan ini mulai
muncul dan mendapatkan tempatnya sendiri-sendiri dihati dan telinga rakyat.
Namun kemajuan yang paling terang benderang adalah, dipergunakannya partai
politik sebagai alat perjuangan untuk merebut kekuasaan dan membebaskan Indonesia.
Zaman berpolitik ala Sarekat Islam, saat Tjokroaminoto meninabobokkan
orang miskin tentang ratu adil dan menjebloskan agama semakin dalam kejurang
mistik, telah lunglai cahayanya. Ini zaman baru. Zaman dimana teori-teori kiri,
pemikiran sosial demokrat, nasionalisme dan gagasan-gagasan liberal, bahkan
fasisme, menjadi bahan debat sengit dikalangan para inlander terdidik, berjas
dan berdasi.
Otomatis, gerakan
perempuan pun menyesuaikan dinamikanya dengan perkembangan ini. Nasionalisme
menjadi gagasan yang diterima seluruh kekuatan politik yang ada, sehingga
konsepsi persatuan menjadi lebih mudah untuk diwujudkan. Maka, Kongres
Perempuan Indonesia nasional pertama diadakan di yogyakarta pada bulan
desember 1928, setelah Sumpah Pemuda. Dihadiri oleh hampir 30 organisasi
perempuan, kongres ini merupakan fondasi pertama gerakan perempuan, dan upaya
konsolidasi dari berbagai perempuan yang ada.
Kongres pertama
ini menghasilkan federasi organisasi perempuan bernama Persatoean Perempoean
Indonesia (PPI), yang setahun kemudian diubah menjadi PPII (Perikatan
Perhimpunan Istri Indonesia).
PPII sangat giat dibidang pendidikan dan membentuk panitia penghapusan
perdagangan perempuan. perbedaan tajam dengan kelompok islam poligami tetap timbul
dan tak terdamaikan.
Mayoritas peserta
Kongres datang dari perempuan kalangan atas, meskipun organisasi perempuan kiri
mulai mewarnai. Kongres Perempuan II di Jakarta (1935) dan Kongres III di
Bandung (1938) menunjukan kecenderungan yang semakin populis dari gerakan
perempuan. Orientasi kepada perempuan kelas bawah mulai menguat, meski dalam
hal program tidak selalu konsisten. Yang memilukan adalah tidak ada satupun
organisasi yang tergabung dalam Kongres Perempuan Indonesia (KPI)
mengeluarkan pernyataan terbuka menolak dan melawan penjajahan kolonial,
kecuali Sarekat Rakyat dan Istri Sedar. Kedua kelompok ini secara konsisten
mendorong agar kaum perempuan terlibat dalam perjuangan kemerdekaan. Seperti
yang diucapkan Soekarno pada 1932 : “Saat ini perjuangan kaum perempuan yang
terpenting bukanlah demi kesetaraan, karena dibawah kolonialisme laki-laki juga
tertindas. Maka, bersama-sama dengan laki-laki, memerdekakan Indonesia. Karena hanya dibawah Indonesia
yang merdekalah, kaum perempuan akan mendapatkan kesetaraannya”.
Ditengah-tengah ombak besar nasionalisme yang siang malam menyerbu mimpi-mimpi
para pemuda, mayoritas kelompok lainnya memfokuskan diri semata pada
pendidikan, pemberantasan buta huruf dan soal-soal keperempuanan. Meskipun hal
ini juga amat penting, namun tampa
keterlibatan dalam perjuangan kemerdekaan, semua persoalan kesetaraan akan
gagal menghasilkan pembebasan dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun.
Nasiolanisme vs Feminisme?
Menurut sejumlah
sejarawan feminis seperti Sakia Wieringa, sejak kongres 1928, telah
terjadi tarik menarik antara kepentingan nasionalisme dan feminisme. “Persatuan
Nasional” diatur diatas landasan berfikir patriarki yang masih kental, sehingga
pandangan tentang konsepsi kesetaraan menjadi pragmatis, sama sekali tak
mendalam. Patriarki “disembunyikan”, menjadi sekunder dan samar dalam keteguhan
praktek politik membebaskan barat dan laut Indonesia, karena ada
prioritas-prioritas perjuangan yang lebih penting.
Disatu sisi,
pandangan ini tidak sepenuhnya tepat. Kongres Pemuda bulan Mei pada
tahun yang sama (yang menelurkan Sumpah Pemuda), sesungguhnya telah
memasukkan butir mengenai “pentingnya kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan
untuk mewujudkan persatuan nasional”, dari keseluruhan enam butir topik yang
dibahas. Meski demikian, seluruh konsepsi tentang kesetaraan saat itu memang
tersubordinasi dibawah kepentingan nasionalisme dan persatuan. Kemudian dalam
Kongres Pemuda 1928, juga ada alokasi satu sessi khusus untuk membicarakan
persoalan perempuan. Beberapa pembicara seperti M. Tabrani, Bahder Johan,
Djaksodipoero dan Nona Adam pun memiliki pandangan yang cukup maju
dalam mengkaitkan persoalan perempuan dan kemerdekaan. Meskipun dalam praktek,
kesetaraan belum tentu dapat dilaksanakan.
Namun disisi
lain kesenjangan memang terjadi karena masih lemahnya kemampuan gerakan
perempuan saat itu untuk membangun suatu konsep perjuangan perempuan yang
menyeluruh. Juga disebabkan basis massa
yang masih kecil dan belum terpolitisasi dari kalangan perempuan, ditengah
gerakan anti penjajahan yang menggelembung. Hanya sarekat rakyat dan istri
sedar-lah kelompok perempuan yang pada waktu itu secara terbuka menolak
kolonialisme dan kapitalisme. Mungkin “tarik-menarik” bukanlah istilah yang
cepat, mengingat posisi gerakan perempuan memang belum semassif, sepolitis dan seefektif
gerakan anti kolonial. Konsekuensinya, kesetaraan lebih dilihat sebagai tahap yang
harus dibenahi demi konsolidasi persatuan nasional, ketimbang sebagai satu hak
politik dan ekonomi kaum perempuan seutuhnya.
Jika melihat
pengalaman gerakan perempuan Amerika Serikat dan Perancis, kedua-duanya pun
timbul dan termotivasi dalam situasi revolusioner yang diciptakan oleh gerakan
pembebasan nasional melawan inggris dan Revolusi Borjuis Perancis 1789. harus
dilihat bahwa gerakan perempuan tidak timbul dan berkembang sendirian, ia
adalah reaksi terhadap perkembangan masyarakat dan relasi produksinya. Maka, dalam
perjalanan feminisme tidak mungkin dikontradiksikan dengan arus besar
nasionalisme anti kolonial, gerakan anti imperealisme dijaman Soekarno, ataupun
gerakan demokrasi dan anti neolibralisme dimasa sekarang.
Setelah Kongres
Perempuan tahun 1928 itu, muncul organisasi-organisasi perempun yang radikal
dalam menentang poligini (perceraian sepihak oleh laki-laki), poligami,
perkawinan anak perempuan, dan berpendirian nonkooperatif terhadap Pemerintah
Kolonial, seperti Isteri Sedar. Muncul pula “sekolah- sekolah liar”, yang menolak
subsidi kolonial. Di sekolah-sekolah ini ditanamkan semangat cinta Tanah Air
dan cita-cita kemerdekaan. Belakangan Istri Sedar menjelma menjadi Gerwis,
yang merupakan cikal bakal Gerwani nantinya.
Tidak banyak
tersedia data tentang para tokoh perempuan yang telibat dalam gerakan bawah
tanah melawan fasisme Jepang. Berbagai organisasi pemuda seperti Gerindo,
AMI, Angkatan Muda Minyak, PRI dan terakhir Persindo
(1945). Namun data tentang keterlibatan kaum perempuan dalam wadah dan
laskar-laskar itu sering disebut hanya selintas saja dalam banyak literatur.
Yang cukup menonjol adalah keberadaan GWS (Gerakan Wanita Sosialis), organisasi
perempuan dari simpang kiri gerakan. Banyak anggota GWS saat itu yang ditangkap
dan dibunuh Nippon karena berani terlibat
dalam gerakan bawah tanah melawan fasisme Jepang.